Senin, 16 April 2012
bangunan tua di slatiga
Salatiga, Nostalgia Masa Lalu Bersama Bangunan
Tua
Salatiga, sebuah kota persinggahan saat melintas
dari arah Semarang atau Solo. Dengan hawa sejuk
karena berada di kaki Gunung Merbabu sisi Timur
laut, menjadikannya sebagai kota yang nyaman dari
segi cuaca. Sebagai kota pendidikan, karena ada
salah satu Universitas yang terkenal dengan
miniaturnya Indonesia, yakni Universitas Kristen
Satya Wacana. Hadir dengan sejarang yang panjang
dan penuh dengan cerita, layak Salatiga dijadikan
kota sejarah. Berbagai peninggalan kolonial masih
ada dan masih bisa dinikmati, bahkan hingga saat
ini masih ada yang digunakan sebagai hunian dan
perkantoran. Menguak sejarak Kota Salatiga dari
awal berdiri, kolonial dan masa kini.
Sejarah Salatiga di mulai dari Prasasti Plumpungan,
sebuah batu dengan ukuran 170×150cm dengan
diameter 5m. Di permukaan batu tersebut tertulis
sebuah ketetapan hukum tentang status tanah
perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Status
tersebut penting artinya karena daerah perdikan
bebas pajak dan memiliki kekhususan tertentu.
Prasasti yang ditulis dengan huruf jawa kuno
dengan bahasa sansekerta tertera “Srir Astu Swasti
Prajabhyah”, yang artinya: “Semoga Bahagia,
Selamatlah Rakyat Sekalian”, ditulis pada hari Jumat,
tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
Penamaan Kota kecil ini dengan Salatiga, tak lepas
dari peran Ki Ageng Pandanaran II yang waktu itu
menjabat sebagai Bupati Semarang. Dikisahakan Ki
Pandanarang mengundurkan diri dari jabatannya
dan mengasingkan diri menuju selatan. Saat
sampai di daerah perdikan, Ki Pandanarang II
berserta keluarganya di rampok oleh 3 orang. 3
perampok akhirnya dapat dikalahkan dan menjadi
pengikutnya, dan dari kejadian tersebut dinamailan
Salatiga yang berasal dari Salat tiga. Kata Salat Tiga
dari kisah “Kangmas, Tulung! Wonten Tyang, salat
telu! Kangmas, tolong! Ada Tiga orangutan
penyamun”. Versi lain mengatakan Saltiga berasa
dari kata Sela/Selo (batu) dan Tigo (tiga). 3 batu
tersebut dari sebuah candi yang menurut legenda
terletak di samping aliran sungai Kali Taman,
Benoyo.
Pada masa kolonial Belanda, Salatiga pernah
mencatat sejarah sebagai tempat
ditandatanganinya Perjanjian Salatiga antara
Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta dan
VOC pada 17 Maret 1757. Perjanjian ini menyepakati
berdirinya Kadipaten Mangkunegaran dan
Pangeran Sambernyawa berhak memakai gelar
Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara I. Gelar yang
sama berhak dipakai keturunan Pangeran
Sambernyawa.
Kota kecil yang menghubungkan Semarang dan
Solo dan masuk dalam segitiga emas Joglosemar
“Jogja, Solo, Semarang” menjadikan Salatiga
sebagai tempat yang strategis. Berketinggian
600-850 dengan iklim sejuk, maka pada jaman
pemerintahan Belanda sempat memperoleh
julukan “kota terindah di Jawa Tengah”. Pada
pertengahan abad 19 hingga memasuki abad 20,
Salatiga dikenal sebagai daerah peristirahatan bagi
para pejabat pemerintah kolonial maupun orang-
orang Eropa. Tidak mengherankan jika Salatiga
waktu itu menjadi tempat hunian bagi orang-orang
Eropa, terbukti dari peta kuno yang menjelaskan
perkampungan Eropo disertai peninggalannya.
Beberapa bangunan bersejarah peninggalan Eropa
masih kokoh berdiri, namun tidak sedikit yang kini
tinggal kenangan saja. ada sebuah bangunan di
pusat pemerintahan pada waktu itu, yakni rumah
Bupati. Baron van der Schoot-of Heeckeren yang
“bangunan datar” bernama karena atap datar,
(Gedung Papak) masih digunakan sebagai kantor
walikota pemerintah kota Salatiga. Halaman yang
asri dengan pohon-pohon besar seolah tak
mengubah suasana masa lalu.
Djoen Eng Mercury (1859-1935), pengusaha sukses
dari Taiwan. Di salatiga ia membuat bangunan
rumah mewah berarsitektur Cina yang didalamnya
dipenuhi marmer dan hiasan porselen. Terletak di
lereng Gunung Bunder, bangunan ini sangat
megah pada masa itu. Pada tahun 1930, Djoeng
Eng terkena krisis dan bangkrut dan beberapa aset
disita. Bangunan ini kemudian di invasi oleh
penjahah dan akhirnya di beli oleh Gereja Katolik.
Bangunan yang kian lama kian lapuk sehingga di
pugar terutama pada atapnya.
Kini bangunan tersebut menjadi Institut Roncali
yang di gunakan sebagai salah satu pusat spriritual
di Indonesia. Selain sebagai pusat spiritual, institut
Roncali juga digunakan sebagai rumah retreat,
ibadah dan pengobatan. Arsitektur eksterior dan
interior masih tetap dipertahankan, Hanya
beberapa bagian yang ditambah untuk
menyesuaikan dengan keadaan. Halaman yang
luas, asri dan sejuk serta suasana yang tenang
memang sangat tepat sebagai tenpat untuk
mengaktualisasi diri dengan Sang Khalik.
Dipusat kota ada sebuah bangunan kuno yang
terhimpit beton-beton kontruksi modern. sebuah
Gereja yang didirikan pada tahun 1823 masih kokoh
berdiri. Gereja yang kini bernama GPIB Taman Sari
yang seangkatan dengan gereja Blenduk di
Semarang masih kokoh berdiri dan masih
digunakan sebagai tempat Ibadah. Didekat gereja
tersebut ada sebuah bangunan berupa rumah
tinggal, yang terkenal dengan kisah cinta Sang
Proklamator. Bangunan yang kini berdiri di samping
apotik vitra adalah ruma ibu Hartini, yang pada
waktu itu mampu memikat hati Soekarno yang
tinggal di rumah dinas walikota.
Bangunan kuno tak lepas dari Militer, karena semua
aset peninggalan Belanda jatuh di tangan TNI pada
waktu perebutan. Ada 3 bangunan yang kini
menjadi saksi bisu dari sejarah masa lalu.
Bangunan yang kini menjadi rumah dinas Dandim
dulu pernah di Pakai sebagai rumah dinas
Soeharto. Kantor Polantas Salatiga dulu adalah
sebuah bangunan dan benteng yang kokoh. Yang
Menarik adalah bangunan “Kubah Kembar”.
Bangunan yang mirip dengan Lawang Sewu, karena
ada Kubah di sisi kanan kiri yang di gunakan
sebagai tempat pasokan air. Bangunan ini
dibangun bersamaan dengan Djoeng Eng yang kini
diperuntukan sebagai Detasemen Perhubungan
Korem 073 (Denhubrem 073). Berdiri di atas bukit,
dari balkon atas mata bisa luas memandang
Gunung Merbabu, telomoyo dan Ungaran.
Bangunan kuno yang kini masuk dalam Benda
Cagar Budaya, kiranya masih terus dapat
dipertahankan. Bangunan-bangunan tua tersebut
adalah bukti bahwa Salatiga pernah menjadi kota
terindah di Jawa Tengah pada tahun 1900. Bukti
kemajuan waktu itu yang kini semakin lapuk oleh
perubahan. Butuh keseriusan semua pihak untuk
menjaga warisan tak ternilai tersebut. Salatiga Srir
Astu Swasti Prajabhyah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar